Sabtu, 20 Maret 2010

Cinta Nggak Segampang Matematika

Kalau saja hidup ini segampang matematika, mungkin nggak banyak orang yang akan terluka. Sepintas lalu kayaknya kalimat ini pasti adanya cuma di sinetron, tapi percaya deh kalimat ini memang terbukti kebenarannya. Mungkin kamu bakal protes jika matematika –yang konon bisa bikin rambut lurus jigrak-jigrak tanpa direbonding atau pake shampoo itu- menurutku “enggak susah”. Asalkan kita tahu rumus yang tepat, sebenarnya soal-soal matematika tidak sengeri yang kita kira. Nah, bedanya dengan kehidupan kita : nggak ada rumus yang pasti tentang bagaimana cara membuat orang senang, alih-alih yang kita perbuat malah membuat orang bereaksi sebaliknya. Seperti kata pepatah, “Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu” – sebenarnya kita toh benar-benar nggak tahu apa yang ada di dalam pikiran orang lain. Coba diingat-ingat, pasti banyak kan dari kita pernah merasakan salah tingkah dan kebingungan menghadapi bermacam-macam polah tingkah orang lain? Rasanya badan jadi kaku dan dingin kaya diguyur air es dari langit. Kita merutuk dalam hati, andaikan ada rumus praktis (namun sayang, hidup bukanlah UMPTN) untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain. Bahkan aku yang kuliah di jurusan psikologi –dan sebagian besar orang lantas berpikir bahwa dengan itu aku bisa meramal kepribadian orang lain hanya berdasarkan pandangan pertama saja– kadang-kadang tetap mengalami dilema dalam hubungan interpersonal. Duh…!
Jadi, matematika mungkin masih lebih gampang. Tapi kamu masih saja boleh nggak sepakat, lho!
Kadang ini nggak ada hubungannya dengan jenis kelamin, namun tetap saja aku merasa bahwa diriku lebih rasional dalam memandang hidup dibandingkan dengan orang-orang lain. Bahkan memandang cinta sekalipun. Boleh jadi teman-temanku mengira aku adalah orang yang memandang cinta dengan sinis; meskipun nggak benar seperti itu. Ada temenku yang bilang, “Udah dirasain aja apa susahnya sih? Daripada dipikir melulu”. Tapi aku tetep aja keukeuh untuk berpikir beberapa kali lagi, agar bisa
jatuh cinta pada orang yang tepat. Karena aku yakin bahwa jika kita jatuh cinta cuma bermodalkan perasaan dan hawa nafsu, kalau terjadi sesuatu yang buruk, rasanya pasti kaya kebanting ke lantai. Sakit.
Aku punya seorang teman yang kayaknya jatuh cinta itu nggak ada bedanya sama memancing ikan. Nyaris nggak pilih-pilih. Asalkan umpan disambut, ditarik deh pancingnya. Tapi ya karena tak pernah berpikir panjang, akhirnya sering hubungannya nggak pernah langgeng. Ia jadian sebanyak ia putus hubungan. Merana sekali tampaknya. Di mata temen-temen lainnya, ia juga sudah dipandang sebelah mata. Habisnya kok kesannya “gampangan” banget gitu lho. Dan entah akhir-akhir ini ia selalu tampak sendirian. Entah karena mungkin kepercayaan diri dia mulai rapuh atau bisa juga tobat. Semoga aja karena alasan yang terakhir tadi deh.
Bukan berarti aku nggak pernah jatuh cinta. Dulu aku pernah jatuh cinta ketika masih SMP. Aku inget banget waktu itu pas lebaran. Saat itu aku mengirim kartu lebaran bermerek Harvest yang bergambar cewek-cowok dewasa persis kaya ilustrasi di majalah-majalah remaja waktu itu. Mana kalimatnya romantis lagi.
Akhirnya sewaktu hari pertama sekolah setelah liburan panjang lebaran. Aku bertemu dia. Wajahnya sudah merah saat melihatku. Temen-temen se-gank-nya sudah bersorak-sorak. Aku merasa aneh. Ada apa, ya? Ada yang kelepasan bilang, “Kamu suka sama si X, ya Lang?”
Pucet deh mukaku. Kok semua pada tahu ya?
Tanggapan si dia-yang-kucinta itu pun tampak dingin dan semakin menjauhiku. Padahal dulu pernah deket banget. Tapi ya mau bagaimana lagi, memang sudah resiko. Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu aku menyesal, kenapa juga kirim kartu lebaran yang bergambar seperti itu tanpa pikir panjang. Padahal aku sebenernya cuma nulis “Mohon Maaf lahir Batin” doang. Nggak ada embel-embel “I Love you” sama sekali. Tapi mungkin memang kalimat-kalimat yang tercetak di kartu lebaran itu memang sudah sedemikian gamblangnya menerangkan maksudku. Jadi deh, ditolak sebelum ngomong langsung. Kayaknya kejadian gini cuma dialami oleh aku deh. Makanya pengalaman itu menjadi pegangan bagi aku untuk lebih bijaksana dalam memandang kehidupan ini.
Bagiku, cinta itu memang misterius –dan mungkin selamanya akan seperti itu. Kadang-kadang aku nggak pernah menemukan alasan logis kenapa jatuh cinta bisa mengubah sikap orang seratus delapan puluh derajat. Aku kenal seseorang yang sangat realistis tetapi tiba-tiba menjadi begitu melankolis ketika jatuh cinta, memandang senja dengan tatapan rindu, tersenyam-senyum sendiri dalam perjalanan, dan rajin menyambangi kios bunga. Suatu kali dia mengeluh kepadaku bahwa pacarnya sangat cuek kepadanya. Tetapi buru-buru ia membuat pemakluman “Tapi nggak apa-apa, orang pisces kan emang biasanya gitu, kan?” Duh.., saya jadi khawatir kok bisa-bisanya orang serealistis dia bisa menghubung-hubungkan antara sifat dengan zodiak?
Jika disuruh memilih, mungkin aku lebih suka hubungan pertemanan ketimbang percintaan –meski aku tahu bahwa suatu saat akupun pasti akan jatuh cinta (lagi). Kedengarannya klise, ya? Tapi aku punya alasanku sendiri kok! Sebenarnya ada perbedaan mendasar antara hubungan percintaan dengan hubungan pertemanan. Percintaan itu dilandasi oleh rasa posesif (rasa ingin memiliki), sedangkan hubungan pertemanan didasari atas rasa saling percaya. Kamu boleh-boleh aja protes bahwa hubungan antar kekasih dilandasi atas rasa saling percaya. Tapi pasti kamu akan kesulitan untuk menerangkan dari mana datangnya rasa cemburu. Perasaan posesif itu yang kemudian melahirkan ritual wakuncar (waktu kunjung pacar) saban malam minggu. Coba deh, kamu pasti akan dicemberutin sama pacar kamu kalau malam minggu nggak “ronda” ke rumahnya. Rasa posesif yang berlebihan juga lah yang menjadi penyebab hubungan cinta jarak jauh akhirnya nggak berhasil. Bawaannya curiga dan cemburu melulu. Selalu aja bertanya, “Kamu lagi nggak sama siapa-siapa kan di sana?”
Coba sekarang bandingkan dengan hubungan teman. Kita kan nggak bisa protes bila sahabat kita memiliki sahabat lain selain kita? Itu hak-hak dia dong punya sahabat lain selain kita. Hubungan pertemanan juga menghasilkan sebuah ikatan unik yang menyebabkan kita bisa mengobrol akrab dengan teman kita yang mungkin sudah lama nggak kita jumpai. Pokoknya yambung aja gitu. Nggak ada sama sekali perasaan cemburu. Mungkin ada sedikit perasaan dongkol, namun tetap nggak menjadikan kamu memutuskan hubungan dengannya sebagai seorang teman, bukan?
Kalau dengan pacar, jarang ketemuan, bisa-bisa dieleminasi deh!
Jadi, nggak salah bukan bila aku akhirnya lebih merasa hubungan antar teman lebih berharga daripada hubungan dengan kekasih. Banyak orang-orang spesial yang kujadikan sahabat, karena semata-mata aku meletakkan posisi sahabat lebih tinggi daripada kekasih.
So.., jika suatu kali kamu menyatakan perasaanmu kepada orang lain, dan ditanggapi dengan jawaban “Lebih baik kita jadi teman saja, ya?”, seharusnya kamu malah merasa lebih terhormat, dong.
Aku sedang sibuk menyelidiki misteri tentang cinta (kayak judul lagu, ya?). Cinta itu sebenernya nggak pernah memberi lebih. Bahkan nggak jarang cinta merenggut apa yang kita punyai : waktu, tenaga, pikiran, uang, dan masih banyak lagi. Tetapi cinta membuat hidup kita lebih berharga. Sedikit yang diberikan oleh orang yang kita cintai terasa berharga. Kekasih kita menjadi sedemikian cantiknya, hingga Dian Satro pun lewat. Orang lain akan menganggap kita gila. Kok bisa ya, cuma dibelikan semangkuk bakso saja senengnya selangit? Tapi orang yang kasmaran itu pasti menganggap cinta itu enak gila…
Dalam operasi matematika, cinta itu adalah hubungan perkalian. Ahli-ahli kimia bilang cinta itu adalah katalisator. Dengan satu ucapan yang menghibur dari orang yang kita cintai, hati kita bisa melambung hingga ke negeri antah-berantah. Tetapi satu bentuk kekecewaan yang dilakukan oleh orang yang kita cintai pada kita, duh sakitnya pasti akan membekas sampai lama. Kita bisa jadi sangat terhibur karena cinta, namun sebaliknya bisa juga menjadi sangat tersakiti oleh cinta. Aku beberapa kali menemui orang-orang yang mengalami trauma dalam cinta dan berjanji tidak akan pernah jatuh cinta lagi. Menyedihkan sekali, bukan? Aku hanya bisa mengatakan, tanpa cinta pun hidup kita sudah membingungkan. Ini juga didukung oleh Hukum Termodinamika II, yang berbunyi entropi selalu positif, yang artinya : alam termasuk manusia akan cenderung menuju ke arah ketidakaturan. So, sebenarnya tidak ada masalah dalam hidup, asalkan kita bisa mengendalikannya. Cinta nggak pernah bersalah kok! Baik-buruknya kualitas cinta itu tergantung pada kita, gimana cara kita menjalaninya. Pengalaman dan kegagalan yang dulu kan bisa menjadi cermin bagi kita agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Bagaimanapun juga, yang memisahkan antara kegagalan dan kesuksesan adalah usaha. Yah, tapi kita memang harus memulainya. Dan untuk itu modalnya cuma satu. Nyali. Nah, apakah kamu punya?
Apabila kita bertaruh untuk merasakan cinta dalam hidup kita, menurutku pilihan untuk mencoba jatuh cinta lagi tidaklah terlalu buruk.
Beruntung aku adalah seorang penulis sekaligus orang yang mengenyam pendidikan psikologi. Itu adalah tiket bagi orang-orang untuk curhat kepadaku. Asyik sekali mengetahui dan belajar dari pengalaman orang lain tanpa harus mencari apalagi membayar. Bukan hanya satu-dua orang saja yang bercerita tentang pengalaman cintanya lho. Meskipun kadang aku nggak benar-benar bisa menyelesaikan masalah dan bahkan merasakan perasaan mereka –karena bagaimanapun juga aku bukan orang yang benar-benar mengalami kejadian yang sama– tetapi dengan menjadi pendengar pun sudah cukup bagi mereka. Beberapa kali aku malah berbuat terlalu jauh dalam hubungan percintaan orang lain. Seperti misalnya, aku terlibat di tengah hubungan cinta yang unik antara perempuan Indonesia dengan lelaki asing. Hubungan mereka bertambah menarik karena umur perempuan tersebut lebih tua delapan tahun daripada yang laki-laki. Nggak tahu kenapa aku kemudian mereka anggap sebagai mak comblang, hanya karena memperkenalkan mereka berdua. Sering aku diajak ngobrol sembari ditraktir di rumah makan mewah. Hampir setiap kali diajak, aku yang memang hobi banget makan nggak pernah bisa nolak. Mungkin ini ya enaknya jadi mak comblang….
Meskipun hingga saat ini aku secara pribadi nggak begitu sepakat dengan pacaran –terutama cara pacaran remaja akhir-akhir ini yang kayaknya makin syuerem deh.., tetapi aku sama sekali nggak menentang cinta. Malah pekerjaanku sebagai penulis sangat terbantu karena cinta. Dulu ketika aku masih belum memahami apa itu cinta, tulisanku terasa kering, datar, dan tanpa emosi. Di satu sisi aku melecehkan cerita-cerita yang menjual cinta-cinta gombal, tetapi di sisi lain aku mengakui kekurangan tulisanku terdapat dalam cerita-cerita seperti itu. Makanya, setiap kali pergi ke taman bacaan kemudian aku selalu menyempatkan mencomot novel-novel Harlequim atau TeenLit (bahkan ChickLit) di antara novel-novel science-fiction karya Michel Critchon atau novel misteri Agatha Christie yang biasa kubaca. Pertama-tama ada perasaan enggan dan sedikit jijik, tentu. Tetapi aku merasa bahwa perasaan seperti ini lumrah jika ingin mempelajari sesuatu yang baru sekaligus beda dari keseharian kita.
Hasilnya, aku semakin memahami cinta. Cinta bagiku itu ibarat vitamin C. Bikin semangat dan memandang hidup jauh lebih baik. Cinta melahirkan sentuhan emosi yang
bertingkat-tingkat pada simbol-simbol tertentu (contoh: bunga, warna pink, dll) –sesuatu yang dulu tidak kupahami (ingat pengalamanku tentang Kartu Ucapan Harvest, kan?). Mengarang bagiku sekarang tak ubahnya seperti menulis surat cinta yang penuh dengan bahasa yang terpilih sekaligus menggigit. Ada perubahan dalam bagaimana cara memandang sesuatu hal dan juga bagaimana cara menimbulkan kesan dari ragam pilihan bahasa yang dipilih. Secara otomatis, dengan cinta, aku merasa bahwa hidupku menjadi makin kaya dan semakin bersemangat untuk menulis lebih banyak hal lagi. Bener deh kata Mas Guruh Soekarno Putra : Mahadaya Cinta!! Rugi kalau nggak pernah jatuh cinta!
Seperti dalam sebuah lirik sebuah lagu “love doesn’t have to hurt”: cinta nggak boleh saling menyakiti, menekan, apalagi memaksa. Ini berlaku untuk kedua belah pihak lho. Kamu nggak boleh menuntut orang yang kau cintai untuk memperhatikanmu terus-terusan, di lain pihak kamu juga nggak boleh menuntut dirimu untuk terus-terusan memaklumi orang yang kau cintai jika ia berkali-kali melakukan kesalahan yang sama. Cinta itu tetep ada batasnya. Kadang-kadang sebuah hubungan akan lebih baik jadinya apabila kita nggak berhubungan.
Bisa jadi hingga akhir orang tidak akan pernah tahu misteri cinta. Mungkin pada saat rumus-rumus matematika telah terungkap semuanya, cinta masih berenang-renang dengan anggunnya di area ketidaktahuan dalam pikiran manusia dan orang-orang masih ramai membicarakannya. Namun mungkin itu lebih baik. Karena orang-orang akan selalu penasaran, bertanya, mencari, dan merasakan cinta. Cinta memang mungkin selamanya nggak akan lebih gampang daripada matematika. Tetapi bila kita bisa memperlakukan dengan bijaksana, cinta pasti akan jauh lebih menyenangkan ketimbang matematika. Kamu sepakat?
----oo----